SUB. ZINE FEST 2017

S__12713987

Kami mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan hasil riset singkat kami bertajuk ZAMAN: a short research about zine in Yogyakarta di kota Surabaya, tepatnya di jalan sonokembang no.2. Dalam bincang-bincang, juga ada Benny Wicaksono (kurator Biennale Jakarta 2015) dan juga Abraham Herdyanto (anti warna) selaku salah satu penggelar acara yang juga sebagai moderator dalam sesi diskusi tersebut. Lewat berbagai obrolan, baik dalam diskusi maupun obrolan santai selama di kota Surabaya kami ras kami menyepakati bahwa pengarsipan zine secara khusus merupakan hal yang sangat penting dan sering dilewatkan, kami bersyukur kami sempat memulainya. Mengingat budaya masyarakat Indonesia yang lebih mengenal budaya “cakruk“, dimana manusia Indonesia memang punya kecenderungan bertukar informasi lewat berbagai obrolan dalam tongkrongan.

Dalam sesi diskusi juga terdapat poin menarik yang disampaikan mas Yudo. Ketika sesi tanya jawab oleh audiens dimulai, mas Yudo yang memang sedari awal sudah berbaris di paling depan tanpa sungkan langsung melempar pertanyaan yang kurang lebih kami simpulkan: jika kita sepakat bahwa zine merupakan media sub-culture, yang berarti merupakan bentuk tawaran lain pada arus mainstream – main culture, lalu apa yang sebenarnya kita tawarkan? Tanpa berkutat ataupun terjebak dengan permasalahan klasik “apa itu zine? ini zine tau bukan? dsb” Zine telah berkembang secara alamiah mengikuti perkembangan jaman, beberapa definisi yang ada mulai usang. Zine, di Indonesia khususnya dulu identik dengan perlawan, dan memang iya, kita saat itu memiliki musuh bersama (1985-1999), begitupun ketika wabah industri musik sedang merajai dunia hiburan (2000-2010), zine pun hadir menawarkan beberapa musik yang jarang-terdengan di media mainstream. Akhirnya kita sadari kita cukup terjebak dengan definisinya yang terlalu cair, kalaupun pada akhirnya muncul definisi baru, akan makan waktu yang lama untuk menjabarkannya. Perlu ada penelitian-penelitian lebih lanjut menilik zine-zine lama yang sempat beredar seperti apa yang memang pernah kami lakukan, tapi itu jelas belum cukup.

Zine merupakan proses dialog, tidak hanya media bermuatan teks ataupun visual. Saya rasa banyak orang sepakat dengan pernyataan ini. Ada romantisme yang terjadi; mengingat gencarnya media online, rilisan fisik zine yang di distribusikan lewat barter menjadi proses transaksi intektual yang tidak tergantikan, atau mungkin belum.

Bagaimanapun zine nantinya, seperti yang kami utarakan di awal kemunculan Indisczine Partij 2016 silam, kami jatuh cinta pada prosesnya (zine). Dan tentu yang terakhir ingin disampaikan, proses kita belum selesai.

 

Tinggalkan komentar